Banjarbaru | Militan – Perwakilan pemilih dan pengamat pemilu di Banjarbaru, Kalimantan Selatan mengajukan petisi ke Mahkamah Konstitusi untuk menantang hasil pemilihan walikota kota setelah diskualifikasi kontroversial dari pasangan kandidat yang mencalonkan diri dalam perlombaan.
“KPU telah menghapus hak warga untuk memilih dengan menyatakan suara untuk kandidat yang didiskualifikasi tidak valid meskipun tidak memberikan kotak kosong pada surat suara,” kata Pazri pada hari Rabu (4/12)
Ibu kota provinsi Kalimantan Selatan seharusnya menyaksikan perlombaan dua kandidat antara petahana Aditya Mufti Arifin dan pendatang baru Erna Lisa Halaby untuk pemilihan walikota, yang merupakan bagian dari jajak pendapat kepala daerah secara simultan di 37 provinsi dan lebih dari 500 kota dan kabupaten.
Namun kurang dari sebulan sebelum hari pemungutan suara, KPU mendiskualifikasi Aditya setelah menemukan bahwa dia melanggar peraturan pemilu karena berkampanye di acara resmi pemerintah.
Diskualifikasi Aditya telah mengubah Erna menjadi satu-satunya kandidat dalam pemilihan.
Undang-Undang Pemilihan Daerah mengizinkan satu-satunya kandidat untuk mencalonkan diri, selama KPU menyediakan kotak kosong pada surat suara sebagai pilihan bagi pemilih untuk mengungkapkan ketidaksetujuan mereka dengan satu-satunya pesaing.
Jika satu-satunya kandidat gagal memenangkan lebih dari 50 persen suara populer, kotak kosong dinyatakan sebagai pemenang. Pemilihan ulang kemudian diadakan lagi pada tahun berikutnya setelah hari pemungutan suara awal, seperti yang ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan yang dikeluarkan pada November 14, dengan harapan bahwa lebih banyak kandidat yang memenuhi syarat mencalonkan diri dalam jajak pendapat ulang.
Namun, karena petahana didiskualifikasi dari pemilihan menjelang hari pemungutan suara, KPU berpendapat bahwa mereka tidak memiliki cukup waktu untuk mencetak surat suara baru yang berisi kotak kosong untuk menggantikan Aditya.
Penyelenggara pemilihan malah menggunakan surat suara asli yang berisi dua kandidat, dengan penafian bahwa setiap suara yang diberikan kepada kandidat yang didiskualifikasi akan dihitung sebagai tidak valid.
Aditya, yang mencalonkan diri dengan mantan sekretaris Banjarbaru Said Abdullah, dinominasikan oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang memegang 13 persen kursi di legislatif kota.
Sementara itu, Erna dan wakil walikota petahana Wartono didukung oleh koalisi tenda besar yang terdiri dari delapan partai yang mengendalikan lebih dari 80 persen kursi di dewan kota, termasuk Partai Gerindra, Partai Golkar, dan Partai Perjuangan Demokratik Indonesia (PDI-P).
Hasil awal menunjukkan bahwa pasangan Aditya-Said memenangkan 68 persen dari total suara yang diberikan pada hari pemungutan suara.
Namun, KPU menyatakan semua suara tidak valid dalam penghitungan suara akhir, seperti yang diumumkan oleh komisi pada hari Rabu (4/12).
Badan jajak pendapat kemudian menyatakan Erna dan Wartono sebagai pemenang dalam perlombaan dengan lebih dari 36.000 suara, 100 persen dari semua suara yang sah.
Selain menantang hasil di Mahkamah Konstitusi, pengacara lain yang mewakili penggugat, Denny Indrayana, mengatakan mereka akan mengajukan gugatan terhadap KPU Banjarbaru di Mahkamah Agung.
“Kami juga akan mengajukan keluhan kepada DKPP dan Bawaslu atas insiden tersebut,” katanya.
Kekacauan seputar pemilihan Banjarbaru menarik perhatian nasional, karena banyak yang mempertanyakan kemenangan kontroversial Erna dan Wartono dalam perlombaan.
Komisaris Bawaslu Lolly Suhenty mengatakan, pada hari Selasa (3/12) bahwa KPU Banjarbaru tidak melakukan pelanggaran apa pun terkait keputusannya pada pemilihan walikota.
“Mereka telah melaksanakan rekomendasi Bawaslu dan mengikuti peraturan pemilihan yang berlaku mengenai diskualifikasi Aditya,” katanya.
“KPU benar-benar tidak punya cukup waktu untuk mencetak ulang surat suara, jadi jika ada pemilih yang merasa hak-hak mereka dilanggar, mereka bebas untuk menantang hasilnya.” ujar Lolly
Tapi Lolly mengakui ada celah hukum dalam insiden tersebut. Dia kemudian menyarankan House of Perwakilan anggota parlemen untuk merevisi Undang-Undang Pemilihan Daerah yang berlaku untuk mencegah insiden serupa terjadi kembali di masa depan.
Revisi Undang-Undang Pemilihan Daerah 2015 dimasukkan dalam daftar prioritas Program Legislasi Nasional (prolegnas) untuk tahun depan yang berisi daftar RUU yang diharapkan oleh anggota parlemen untuk disahkan pada tahun 2025. (die)