Jakarta | Militan – Badan Logistik Negara (Bulog), telah diusulkan untuk menjadi badan otonom yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Prabowo Subianto.
Dengan perubahan ini, Bulog tidak akan lagi berada di bawah pengawasan Kementerian Perusahaan Milik Negara, secara efektif mengembalikan kekuatan institusional Bulog kembali ke era Orde Baru.
“Guna mencapai swasembada pangan, maka fungsi Bulog harus di kembalikan, harus transformasi lembaganya. Kalau komersial nanti beli jagung rakyat, beli gabah itu kadang-kadang hitung-hitungan. Bulog ini untung apa rugi, kalau rugi diperiksa,” kata Zulhas saat Konferensi Pers di Gedung Graha Mandiri, Jakarta, Kamis (21/11).
Proposal Presiden Prabowo untuk menjadikan Bulog sebagai badan otonom bertujuan untuk meningkatkan efisiensi operasionalnya.
Namun, dengan menempatkan Bulog di bawah Presiden potensi konflik kepentingan dapat muncul, karena akan bertindak sebagai regulator dan operator, seperti yang terjadi selama era Soeharto.
Mengizinkan Bulog untuk bertindak sebagai regulator dan operator dalam pengadaan makanan, memperkenalkan kembali peran ganda yang sebelumnya memungkinkan korupsi dan nepotisme.
Banyak kasus korupsi terjadi yang melibatkan Bulog selama era Orde Baru. Salah satu kasus terbesar adalah skandal korupsi pada tahun 1970-an, yang mengakibatkan kerugian yang signifikan bagi negara, sebesar jumlah yang cukup besar pada saat itu sebesar Rp 7,6 miliar (US$18,3 juta).
Pada tahun 2002, mantan ketua Partai Golkar Akbar Tandjung terlibat dalam kasus korupsi sebesar Rp 40 miliar dalam dana Bulog non-anggaran.
Peran ganda Bulog secara historis menjadikannya tempat berkembang biaknya korupsi. Kegagalan sistematis ini adalah alasan utama untuk transformasi tahun 2003 menjadi perusahaan milik negara, melepaskan otoritasnya sebagai badan otonom.
Menempatkan Bulog di bawah Presiden Prabowo berisiko menghidupkan kembali korupsi dan nepotisme.
Di mana pejabat yang ditunjuk Presiden dapat memanipulasi pasar makanan, hal ini dapat menyebabkan harga yang lebih tinggi dan kualitas yang lebih rendah bagi konsumen.
Setelah transformasi tahun 2003 sebagai perusahaan milik negara (BUMN), tanggung jawab Bulog untuk memenuhi kewajiban layanan publik (PSO) dan menghasilkan keuntungan komersial telah terbukti rumit.
Tindakan ini telah menyebabkan kesulitan operasional, sebagaimana dibuktikan oleh kerugian Rp 1,7 triliun yang terjadi pada tahun 2019.
Status keuangan Bulog, bagaimanapun, kian tahun terus meningkat dan telah menguntungkan sejak 2021. Bulog menghasilkan keuntungan sebesar Rp 820 miliar pada tahun 2023.
Bulog memang membutuhkan perbaikan, namun, beberapa orang percaya bahwa perbaikan tersebut tidak memerlukan mengubahnya menjadi badan otonom.
Menteri BUMN Erick Thohir, tidak punya pilihan lain selain mendukung inisiatif untuk membangun kembali Bulog sebagai badan otonom.
Menurut Erick, Bulog akan membutuhkan alokasi Rp 26 triliun untuk operasi pasarnya. Setelah pelaksanaan operasi ini, pendanaan yang dibutuhkan diantisipasi akan menurun sekitar Rp 5 triliun menjadi Rp 6 triliun.
Menurut beberapa sumber, restrukturisasi Bulog menjadi lembaga otonom di bawah presiden adalah bagian dari strategi Prabowo Subianto untuk mencapai swasembada pangan. (die)