Jakarta | Militan – Pemerintah melanjutkan rencananya untuk menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada pergantian tahun, tetapi telah mengumumkan beberapa insentif untuk meringankan beban konsumen.
Menteri Koordinator Ekonomi, Airlangga Hartarto mengatakan dalam konferensi pers pada hari Senin (16/12) bahwa bahan pokok utama tertentu, seperti beras, daging sapi, ikan, dan sayuran, dibebaskan dari PPN sepenuhnya.
“Mengikuti Undang-Undang Harmonisasi Pajak, sesuai dengan tenggat waktu yang telah ditetapkan, tarif PPN selanjutnya tahun akan meningkat menjadi 12 persen pada 1 Januari,” kata Airlangga.
Tiga bahan pokok lainnya, yaitu tepung, gula industri, dan minyak goreng Minyakita. Yang didistribusikan negara secara teknis dikenakan tarif PPN 12 persen, tetapi pembeli tidak akan langsung merasakan efeknya, karena pemerintah sendiri pada awalnya akan menanggung tambahan 1 persen, menteri menjelaskan, tanpa menentukan berapa lama pengaturan itu akan berlangsung.
Pemerintah juga mengumumkan niatnya untuk membagikan 10 kilogram beras per bulan pada bulan Januari dan Februari kepada 16 juta rumah tangga yang dikategorikan sebagai masyarakat miskin.
Diskon listrik 50 persen juga akan ditawarkan dalam periode dua bulan yang sama untuk rumah tangga yang terhubung ke catu daya hingga 2.200 volt-ampere.
Airlangga juga mengatakan pembebasan PPN parsial pada pembelian rumah tertentu yang diberlakukan pada November 2023 akan diperpanjang hingga pertengahan 2025, dan kemudian hingga akhir tahun, tetapi dikurangi sebesar 50 persen pada paruh kedua.
Insentif pajak untuk pembelian kendaraan listrik dan pemotongan pajak penghasilan untuk pekerja tertentu yang memenuhi syarat juga akan diluncurkan dengan kenaikan PPN yang dimulai.
Namun, beberapa barang yang sebelumnya dibebaskan dari PPN akan dikenakan pajak penjualan, pada tarif baru 12 persen, mulai tahun depan, seperti bahan makanan premium seperti daging sapi wagyu, salmon premium, dan kepiting raja.
Pengumpulan PPN juga akan diperluas ke layanan yang biasanya terjangkau hanya untuk yang lebih baik, seperti sekolah internasional dan perawatan kesehatan premium, yang sebelumnya dikecualikan bersama dengan layanan pendidikan dan perawatan kesehatan secara umum.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu, mengatakan kepada wartawan setelah konferensi pers bahwa paket stimulus fiskal akan menelan biaya negara sekitar Rp 30 triliun hingga Rp 40 triliun.
Namun, negara bagian dapat merauk sekitar Rp 75 triliun dari kenaikan PPN menjadi 12 persen, kata Febrio.
Berbicara pada pers yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa negara dapat mengumpulkan sebanyak Rp 265,5 triliun dalam pendapatan pajak tambahan dari barang dan jasa yang dibebaskan dari kenaikan.
Dia mengungkapkan bahwa negara itu diproyeksikan untuk menghabiskan sebanyak 1,83 persen dari produk domestik brutonya (PDB) untuk insentif pajak pada tahun 2025, setara dengan Rp 445,5 triliun, angka yang terus meningkat sejak setidaknya tahun 2020.
Sri Mulyani melanjutkan dengan mengatakan bahwa kenaikan PPN dari 10 menjadi 11 persen pada April 2022 tidak banyak berdampak pada ekonomi Indonesia.
“Ekonomi kami tetap relatif stabil, bahkan ada indikasi peningkatan,” kata Sri Mulyani tentang kenaikan 2022.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin mengatakan pada hari Senin (16/12) bahwa situasinya berbeda pada tahun 2022. Namun, karena telah ada permintaan yang terpendam di tengah pemulihan COVID-19, di mana orang-orang telah mengalami euforia belanja.
“Saat ini, ekonomi dunia melambat, efek Trump akan terjadi dan daya beli masyarakat lemah. Insentif diperlukan untuk mengantisipasi semua perkembangan itu,” kata Wijayanto.
Direktur eksekutif Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (CELIOS) Bhima Yudhistira, mengatakan pada hari Senin (16/12) bahwa kenaikan PPN akan memiliki efek luar biasa pada daya beli orang yang tidak dapat ditopang oleh paket insentif.
Mengutip studi CELIOS baru-baru ini, Bhima mengatakan kelas menengah harus mengeluarkan tambahan Rp 300.000 per bulan ketika PPN naik menjadi 12 persen, sementara orang miskin masih harus menanggung tambahan Rp 100.000.
“Insentif yang akan diberikan bersifat sementara, mereka tidak sepadan dengan dampak kenaikan PPN menjadi 12 persen,” kata Bhima. (die)