Jakarta | Militan – Para pencinta lingkungan memperingatkan bahwa, rencana ambisius Indonesia untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060 terlalu bergantung pada biofuel dan berisiko mengalami gelombang baru deforestasi di hutan hujan terbesar ketiga di dunia.
Hashim Djhadiojokusumo, selaku utusan presiden yang hadir di Konferensi Iklim COP29, di Azerbaijan bulan November lalu mengatakan, Indonesia sangat bergantung pada batu bara, Indonesia perlu bertransisi dari bahan bakar fosil dan berusaha menghasilkan 75 gigawatt (GW) listrik dari sumber daya terbarukan selama 15 tahun ke depan, dibandingkan dengan 13 gigawatt hari ini.
Landasan dari dorongan ini adalah penggunaan biofuel pembakaran yang lebih bersih, di mana bahan organik diubah menjadi bahan bakar cair.
Pemerintah mengatakan, Biofuel akan membantu Indonesia mengurangi impor bahan bakar yang mahal, mengurangi gas rumah kaca dan meningkatkan produksi minyak sawit, yang pada gilirannya akan memacu pertumbuhan ekonomi.
Meskipun sebagian besar ditujukan untuk sektor transportasi, biofuel juga digunakan di pabrik bertenaga diesel.
Tetapi budidaya pohon palem dan tebu yang dibutuhkan untuk menciptakan biomassa dalam skala besar untuk industri biofuel, membutuhkan transformasi lahan yang luas menjadi perkebunan dan menempatkan hutan hujan tropis Indonesia dalam risiko.
Forest Watch Indonesia memperkirakan bahwa, deforestasi dapat mencapai 4,56 juta hektar di Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Jika pemerintah secara agresif mengamanatkan penggunaan biofuel di seluruh industri, termasuk di pembangkit listrik.
“Lahan baru diperlukan untuk membangun perkebunan energi untuk memenuhi kebutuhan bioenergi,” kata Anggi Prayogo, peneliti Forest Watch Indonesia.
Sebaliknya, “pemerintah harus mendorong lebih banyak investasi ke energi terbarukan lainnya, seperti tenaga surya dan angin, untuk mengurangi gas rumah kaca.” tambahnya.
Hutan negara ini sangat penting untuk memperlambat perubahan iklim. PBB memperkirakan pohon-pohon Indonesia menyimpan hampir 300 miliar ton karbon.
“Pemerintah harus memastikan bahwa penggunaan minyak sawit untuk biofuel tidak menyebabkan deforestasi dan kerusakan lingkungan,” kata Bhima Yudhistira, direktur eksekutif think tank Centre for Economic and Law Studies, mencatat bahwa peningkatan produksi dapat membutuhkan konversi lebih banyak lahan.
Indonesia sudah menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia, minyak nabati serbaguna yang digunakan dalam makanan, kosmetik, dan bahan bakar. Tahun lalu, negara tersebut memproduksi 47 juta ton, dengan lebih dari 10 juta ton masuk ke biodiesel.
Produksi minyak sawit telah lama dikaitkan dengan deforestasi di Indonesia, dengan 3,3 juta hektar dari 17 juta hektar perkebunan kelapa sawit di negara ini ditemukan di hutan.
Pemerintah menerapkan moratorium pada perkebunan baru pada tahun 2011. Tetapi sekitar 52.000 hektar hutan masih diubah menjadi perkebunan pada tahun 2022 dan 2023, menurut Nusantara Atlas, sebuah kelompok yang melacak deforestasi di Indonesia.
Dirancang sebagai pengganti bahan bakar fosil kotor, biofuel melepaskan lebih sedikit karbon langsung ke atmosfer.
Namun, ketika emisi yang timbul dari perubahan penggunaan lahan juga dipertimbangkan, sebagian besar biofuel sebenarnya mengeluarkan lebih banyak karbon dioksida daripada minyak bumi, penelitian telah menunjukkan.
Namun, Indonesia telah meningkatkan produksi biofuel selama dekade terakhir dan menargetkan peningkatan 32 persen menjadi 16 juta kiloliter (kL) tahun depan dari tahun 2023. Pada tahun 2019, 660.000 kL biodiesel digunakan untuk pembangkit listrik tenaga diesel.
Pemerintah akan mewajibkan produsen untuk membuat campuran biodiesel yang mengandung 40 persen minyak sawit dan 60 persen bahan bakar diesel pada tahun 2025, dari 35 persen minyak sawit saat ini.
Ini akan membutuhkan sekitar 18 juta kL minyak sawit mentah, meningkat 50 persen dari tahun 2023.
Negara ini juga ingin meningkatkan produksi bioetanol, yang berasal dari tebu, untuk dicampur dengan bensin. Pemerintah telah mengalokasikan sekitar 2 juta hektar lahan hutan di Papua Selatan untuk gula, perkebunan tebu untuk mengurangi impor gula.
Laporan tahun 2021 oleh lembaga pemikir Institute for Essential Services and Reform (IESR) yang berbasis di Jakarta, memproyeksikan
potensi permintaan untuk biofuel di Indonesia dapat mencapai 190 juta ton setara minyak pada tahun 2050.
Lebih dari 45 persen emisi karbon Indonesia berasal dari produksi listrik pada tahun 2022, diikuti oleh industri dan transportasi, menurut Badan Energi Internasional.
Batubara adalah sumber utama bahan bakar untuk pembangkit listrik, menyumbang hampir 66 persen dari campuran pembangkit listrik, diikuti oleh gas alam dan hidro dengan masing-masing 13,6 persen dan 7,2 persen. Pemerintah telah menyalahkan kurangnya investasi swasta atas kegagalan untuk memenuhi target energi terbarukan setidaknya sejak 2021.
Indonesia hanya memanfaatkan sebagian kecil dari potensi panas buminya, yang dianggap sebagai yang terbesar di dunia. Dan matahari, angin, dan air juga kurang dimanfaatkan, kata para analis.
Misalnya, itu hanya menghasilkan 0,017 persen dari potensi tenaga surya sekitar 3 gigawatt tahun lalu, menurut lembaga pemikir Amerika Serikat untuk Ekonomi Energi dan Analisis Keuangan.
Biofuel masih akan berperan dalam campuran energi negara, tetapi para peneliti berpendapat bahwa pemerintah harus mendorong lebih banyak penanaman kembali perkebunan yang tidak produktif atau memangkas ekspor untuk memenuhi permintaan domestik terlebih dahulu.
“Indonesia mengekspor lebih dari setengah produksi minyak sawit,” kata Fabby Tumiwa, direktur eksekutif IESR.
Jika hilangnya hutan hujan harus diperlambat, “maka pemerintah harus mengurangi ekspornya,” katanya. (die)