Jakarta | Militan – Raksasa listrik milik negara PT PLN memiliki empat komisaris baru, sebagian besar orang terdekat Presiden Prabowo Subianto. Perubahan ini sangat diantisipasi setelah perubahan serupa di perusahaan minyak dan gas milik negara yaitu Pertamina, di mana orang Prabowo mengisi posisi kunci.
Penggantian dewan di perusahaan milik negara energi (BUMN) dengan politisi menunjukkan upaya untuk membayar kembali sekutu Prabowo dan menimbulkan pertanyaan lebih lanjut tentang target ambisius swasembada energinya.
Empat komisaris PLN baru adalah Wakil Kedua Menteri Badan Usaha Milik Negara Aminuddin Ma’ruf, yang saat itu merupakan sekretaris tim kampanye presiden nasional (TKN) Prabowo-Gibran Rakabuming Raka, politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan mantan wakil ketua TKN Ali Masykur Musa, Irjen Pol. (Purn) Yazid Fanani dan Wakil Menteri Keuangan Kedua Suahasil Nazara.
Penunjukan mereka mengikuti penunjukan sebelumnya mantan gubernur Bank Indonesia dan ketua dewan ahli Prabowo-Gibran, Burhanuddin Abdullah sebagai kepala komisaris PLN dan politisi Partai Demokrat Andi Arief sebagai komisaris independen.
Selain itu, pemerintah melalui Kementerian BUMN menunjuk kembali CEO PLN Darmawan Prasodjo dan direktur keuangan Sinthya Roesly untuk masa jabatan berikutnya.
Darmawan, seorang politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), mengikuti jalan mantan presiden Joko Widodo dan mengubah kesetiaannya kepada Prabowo, yang juga merupakan ketua Partai Gerindra.
Kepemimpinan PLN dan raksasa energi lainnya
Pertamina, selalu bersifat politis karena ukuran semata-mata dari kedua perusahaan ini. Setiap presiden akan menempatkan orang-orang mereka di posisi kepemimpinan perusahaan karena sebagian besar bahan bakar pemerintah dan subsidi listrik melewati kedua perusahaan tersebut.
Baru-baru ini, Prabowo menunjuk dua politisi Gerindra, Simon Aloysius Mantiri dan Komjen Pol (Purn) Mochamad Iriawan alias Iwan Bule, masing-masing menjabat sebagai CEO Pertamina dan kepala komisaris.
34 Penunjukan sekutu Prabowo baru-baru ini untuk kepemimpinan PLN dan Pertamina, mengikuti target Prabowo untuk mencapai swasembada energi, sebagaimana diuraikan dalam visi Asta Cita Prabowo.
PLN memiliki tantangan yang lebih luas di depan karena harus mencapai keamanan listrik dan keterjangkauan, sambil memastikan kelestarian lingkungan melalui transisi energi untuk mencapai target nol emisi bersih pada tahun 2060. Masalahnya adalah bahwa transisi energi itu mahal karena Indonesia telah mengandalkan pembangkit listrik tenaga batu bara (CFPP).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia berpendapat bahwa Indonesia telah mengandalkan CFPP karena listrik dari pembangkit listrik terbarukan harganya enam kali lebih mahal daripada dari batu bara.
Akibatnya, Indonesia lambat dalam mengembangkan energi terbarukan. Hanya 13,1 persen dari campuran energi negara ini berasal dari energi terbarukan, jauh dari target 23 persen untuk 2025.
Karena Indonesia pasti akan kehilangan target energi terbarukan 2025, pemerintah bertujuan untuk mendorong lebih banyak penyebaran energi terbarukan dengan merevisi rencana pengadaan PLN dalam 10 tahun ke depan.
Menteri Bahlil mengungkapkan bahwa PLN akan merilis jangka panjangnya, terkait rencana pengadaan listrik (RUPTL) untuk 2025-2035 dengan bagian minimum sumber daya terbarukan tanaman sekitar 60 persen.
Sementara itu, CEO PLN Darmawan Prasodjo mencatat bahwa sumber yang tidak terbarukan sebagian besar akan berasal dari gas, yang dianggap relatif lebih bersih daripada batu bara.
Darmawan juga mengatakan RUPTL yang baru akan menyatakan pembangkit listrik tenaga gas, panas bumi, dan tenaga air sebagai tiga pembangkit listrik beban dasar baru menggantikan batu bara. (die)