Jakarta | Militan – Lebih dari selusin mantan anggota Militer Indonesia (TNI) yang mencalonkan diri untuk jabatan regional tahun ini.
Setidaknya 36 mantan anggota TNI mencalonkan diri sebagai gubernur, bupati atau walikota dalam pemilihan regional simultan pada hari Rabu 27 November.
Beberapa telah menetapkan rekam jejak sebagai kepala daerah, seperti pensiunan jenderal Angkatan Darat bintang satu Edy Natar Nasution, yang mencalonkan diri sebagai walikota Pekanbaru, ibu kota provinsi Riau.
Edy menjabat sebagai wakil gubernur Riau setelah pemilihannya pada tahun 2018 dan kemudian menjadi gubernur provinsi tersebut.
Sementara tabulasi suara resmi masih berlangsung, penghitungan cepat dari berbagai jajak pendapat menunjukkan bahwa lebih dari 20 mantan kandidat TNI tersebut akan kalah dalam pemilihan mereka, termasuk mantan komandan TNI Andika Perkasa dan pensiunan jenderal Angkatan Darat Edy Rahmayadi.
Baik Andika dan Edy telah mencalonkan diri dengan tiket Partai Perjuangan Demokrasi Indonesia (PDI-P).
Hitungan cepat menunjukkan Andika tertinggal di belakang saingannya yaitu Ahmad Luthfi, seorang pensiunan jenderal polisi bintang tiga yang didukung oleh Koalisi Indonesia (KIM) Presiden Prabowo Subianto, dalam pemilihan gubernur Jawa Tengah.
Dalam perlombaan untuk menjadi gubernur Sumatera Utara, Edy tampaknya telah kalah dari Bobby Nasution yang didukung KIM, menantu mantan presiden Joko Widodo.
Anggota aktif militer telah dilarang memberikan suara sejak pemilihan legislatif 1955, dalam upaya untuk mempertahankan netralitas institusi.
Tetapi selama bertahun-tahun, kredensial TNI memberi kandidat pengaruh yang signifikan atas pemilih, dengan banyak yang mendukung citra kekuatan yang diproyeksikan lembaga tersebut.
Sebuah survei oleh polister Lembaga Survei Indonesia (LSI) sebelum pemilihan presiden pada Februari lalu, menemukan bahwa alasan utama responden memilih mantan jenderal Angkatan Darat Prabowo adalah karena dia keras dan memerintah, serta memiliki latar belakang militer.
Namun, analis politik Yoes Kenawas mengatakan hasil yang diharapkan dari pemilihan lokal 27 November menunjukkan bahwa, latar belakang militer saja tidak cukup untuk memastikan keberhasilan seorang kandidat.
Yoes mengatakan, penelitian menunjukkan bahwa birokrat lokal atau pengusaha memiliki peluang yang lebih baik untuk menang karena mereka lebih berakar pada komunitas mereka dan memiliki lebih banyak modal untuk menjalankan kampanye mereka.
“Sementara itu personel TNI dan polisi, terutama yang berpangkat lebih tinggi, banyak berpindah-pindah sehingga mereka tidak terlalu mengakar dalam masyarakat,” tambahnya.
Analis Wasisto Raharjo Jati dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan, banyak faktor yang mempengaruhi pendapat pemilih terhadap mantan personel militer sebagai kandidat untuk jabatan publik.
“Preferensi untuk mantan anggota militer didirikan karena para pemilih telah melihat bagaimana sesama mantan anggota militer bekerja sebagai kepala daerah di masa lalu dan sangat mengevaluasi mereka. Itulah mengapa mereka secara tradisional melihat kepemimpinan yang kuat sebagai kepemimpinan yang baik,” kata Wasisto.
Sementara itu, Yoes mengatakan popularitas kandidat, modal dan sukarelawan adalah semua faktor utama di luar kredensial TNI dalam peluang mereka untuk memenangkan pemilihan regional.
“Bahkan partai politik hanya menjadi faktor kemenangan di tempat-tempat yang sangat spesifik, seperti di wilayah asal mereka,” katanya
Tetapi Yoes mencatat bahwa Andika telah gagal menang di Jawa Tengah, yang secara tradisional merupakan benteng PDI-P.
Selain Andika dan Edy, kandidat gubernur lainnya dengan latar belakang TNI tampaknya telah kalah dalam kontes masing-masing, termasuk pensiunan jenderal Angkatan Darat bintang satu Andi Sulaiman, yang berada di urutan ketiga melawan dua saingannya dalam perlombaan Kalimantan Utara, menurut hitungan cepat.
Kantor regional Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan mengumumkan hasil pemilihan walikota dan pemangku takhta pada 12 Desember dan pemilihan gubernur pada 15 Desember. (die)